Translate

Jumat, Juli 06, 2012

DESKRIPSI PERUSAHAAN


BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

          Bimbingan dan konseling selama ini identik dengan bantuan yang diberikan kepada siswa-siswa yang berada di sekolah, dan sedikit sekali terdengar adanya konselor di suatu perusahaan atau industri, namun sebenarnya bimbingan dan konseling dengan semua layanan yang ada di dalamnya tidak hanya diperuntukkan bagi warga sekolah atau dunia pendidikan saja tetapi juga bagi semua kalangan dan semua bidang profesi termasuk bidang  industri.

Prayitno (1994: 105) berpendapat bahwa, “Konseling adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan melalui wawancara konseling oleh seorang ahli kepada individu yang sedang mengalami sesuatu masalah yang bermuara pada teratasinya masalah tersebut”. Tidak ada pembatasan bahwa konseling hanya dapat dijalankan di sekolah , bantuan konseling diberikan kepada individu yang sedang mengalami masalah. Di dalam dunia industri tidak jarang  ditemukan seorang  karyawan  mengalami  masalah sehingga mempengaruhi performanya dalam bekerja. 

Di dalam industri BK dapat dijadikan sebagai wadah untuk menyampaikan berbagai hal yang dirasakan oleh karyawan. Sebuah industri atau perusahaan akan sangat terbantu karena permasalahan yang dialami oleh para karyawan dapat langsung mendapat pelayanan dari konselor perusahaan.               

          Selain permasalahan karyawan hal penting lainnya yang perlu diperhatikan oleh pihak perusahaan adalah adanya suatu analisis jabatan.  Dengan adanya analisis jabatan akan diperoleh suatu deskripsi yang lengkap mengenai jenis pekerjaan antara lain kewajiban dan tanggung jawab si pekerja dan perlengkapan-perlengkapan yang dipergunakannya dan hal-hal penting lainnya.

Pada suatu perusahaan yang bisa dikatakan maju dan berkembang pesat, bagian sumber daya manusia pada perusahaan tersebut selayaknya melakukan analisis jabatan sebelum dilakukannya penyeleksian dan penempatan karyawan pada lahan/ jabatan kerja tertentu, agar dapat menempatkan calon tenaga kerja pada posisi yang benar-benar sesuai dengan keahlian yang mereka miliki.

B.     Rumusan Masalah

            Berdasarkan uraian dalam latar belakang sebelumnya rumusan masalah yang perlu diungkap dalam laporan observasi & wawancara ini adalah sebagai berikut :

1.      Bagaimana hakikat Analisis jabatan ?

2.      Bagaimana analisis dan deskripsi suatu jabatan pada BANK NAGARI CABANG SOLOK?

C.    Tujuan

            Tujuan yang ingin dicapai dari pembuatan laporan observasi dan wawancara ini adalah sebagai berikut :

1.      Mengetahui dan memahami hakikat Analisis jabatan

2.      Memaparkan kepada pembaca mengenai bagaimana analisis dan deskripsi suatu jabatan pada BANK NAGARI CABANG SOLOK.

BAB II

PEMBAHASAN

A.    HAKIKAT ANALISIS JABATAN

1.   Pengertian Analisis Jabatan

Mondy dan Noe (1993) berpendapat analisis jabatan sebagai suatu proses yang sistematik yang menentukan tugas, keterampilan, dan pengetahuan sistematik yang diperlukan untuk melaksanakan sesuatu pekerjaan dalam sebuah organisasi. Sedangkan Dessler (1997), mengungkapkan bahwa analisa jabatan merupakan prosedur untuk menetapkan tugas dan tuntutan keterampilan dari suatu jabatan dan orang macam apa yang akan melaksanakan pekerjaan tersebut. Dalam pengertian ini, dessler menekankan pada dua aspek, yaitu meyangkut isi pekerjaan dan orang yang melaksanakan pekerjaan.

 Dalam pengertian lain, Mathis dan Jakson (2000) mengartikan analisis pekerjaan sebagai berikut: “ A Systematic may to gather and analyze information about the content and the human requirements of jobs, and the context in which jobs are performed”. (analisis jabatan merupakan cara sistematik untuk mengumpulkan dan menganalisis informasi tentang isi dan personal yang dipersyaratkan dalam jabatan, dan dalam hubungannya dengan prestasi jabatan). Lebih lanjut, Mathis dan Jackson memisahkan antara jabatan (jobs) dan posisi (position). Jabatan, dalam pengertiannya adalah sekelompok tugas, kewajiban, dan tangggung jawab. Sedangkan position diartikan sebagai prestasi jabatan yang dilakukan oleh seseorang.

Moh. As’ad (1995: 10) mengatakan bahwa “job analis atau analisis jabatan ialah suatu proses untuk mendapatkan keterangan mengenai suatu jenis pekerjaan melalui metode observasi dan interview”. Dari analisis jabatan ini akan diperoleh suatu deskripsi yang lengkap mengenai jenis pekerjaan yang dimaksud, antara lain kewajiban dan tanggung jawab si pekerja/ perlengkapan-perlengkapan yang dipergunakan dan lain-lain. 

Dari pendapat beberapa ahli diatas dapat disimpulkan bahwa informasi yang diperoleh dari analisa jabatan dapat digunakan untuk menentukan karakteristik apa yang harus dimiliki seseorang yang akan menduduki jabatan tertentu. Adapun hasil dari analisa jabatan dapat berupa deskripsi jabatan (job description) dan spesifikasi jabatan (job specification). Deskripsi jabatan adalah suatu pernyataan tertulis yang menguraikan fungsi, tugas-tugas, tanggung jawab, wewenang, kondisi kerja dan aspek-aspek pekerjaan tertentu lainnya. Sedangkan spesifikasi jabatan merupakan pernyataan tertulis yang menunjukkan siapa yang akan melakukan pekerjaan itu dan persyaratan yang diperlukan terutama menyangkut keterampilan, pengetahuan dan kemampuan individu.

2.   Manfaat Analisis Jabatan

              Maslow (1995) memberikan uraian yang panjang lebar mengenai arti dari tujuan membuat analisis jabatan, diantaranya adalah:

1.      Analisis jabatan seringkali dihubungkan dengan penyusunan atau pemilihan jabatan dalam kelompok-kelompok berdasarkan persamaan tugas dan persyaratan.

2.      Analisis jabatan sering digunakan untuk maksud penentuan upah. Ini biasanya disebut evaluasi jabatan.

3.      Tujuan dari analis jabatan adalah untuk menetapkan dasar-dasar penerimaan karyawan. Disini ditekankan kualitas perseorangan yang diperlukan untuk dapat mengerjakan sesuatu pekerjaan.

4.      Tujuan berikutnya dari analisis jabatan adalah untuk menetapkan patokan untuk pola karir.

5.      Analisis jabatan digunakan sebagai alat bantu dalam menelaah organisasi, susunan kekuasaan, hubungan-hubungan dalam organisasi dan hubungan-hubungan keluar.

6.      Penggunaan lain dari analisis jabatan ialah untuk menyempurnakan metode.

7.      Analisis jabatan diterapkan pada serangkaian masalah-masalah yang mungkin berguna pada permulaan diagnosa dan penyesuaian diri pekerja.

8.      Akhirnya analisis jabatan sering dipergunakan sebagai dasar merit rating dan evaluasi penampilan kerja.

Analisis jabatan mempunyai banyak manfaat bagi pimpinan untuk memecahkan salah satu masalah kepegawaian bertalian dengan tugas yang harus dilaksanakannya. Beberapa manfaat dari hasil analisis jabatan antara lain membantu dalam hal :

1.      Penarikan, seleksi dan penempatan tenaga kerja.

2.      Pendidikan dan latihan kerja yang harus dilakukan.

3.      Penilaian jabatan.

4.      Perbaikan syarat-syarat pekerjaan.

5.      Perencanaan organisasi pemindahan dan promo.

Dengan analisis jabatan dapat diperoleh petunjuk-petunjuk tentang kualifikasi yang harus dimiliki oleh tenaga kerja agar dapat menunaikan tugas sesuai dengan jabatan yang akan diserahkan kepadanya. Oleh karena itu, analisis jabatan dapat membantu pimpinan dalam melakukan penarikan, seleksi, dan penempatan tenaga kerja pada suatu jabatan yang tersedia secara tepat. Suatu ketepatan dalam menempatkan tenaga kerja pada suatu jabatan berarti mencegah pemborosan waktu, tenaga maupun biaya sehingga dapat membantu tercapainya suatu efisiensi semaksimal mungkin bagi organisasi atau perusahaan yang bersangkutan.

3.      Metode Analisis Jabatan

Metode yang dapat digunakan untuk melakukan analisis jabatan menurut  Joseph E. Morsh (1995) adalah sebagai berikut:


a.       Metode dengan questionaire (angket)

            Yang bersangkutan diminta memberikan data-data mengenai jabatannya dan melukiskannya jabatannya dengan kata-kata sendiri.

b.      Metode dengan “Check-List”

            Pekerja mengecek tugas-tugas yang dikerjakannya, dari suatu daftar pernyataan tugas-tugas yang melukiskan jabatan. Ruang lingkup pernyataan tugas-tugas yang ada di daftar tersebut tergantung dari pertimbangan si pembuat daftar.

c.       Metode dengan wawancara individual

          Ini menyangkut seleksi terhadap pekerja yang baik yang biasanya diwawancarai di luar pekerjaan.

d.        Metode dengan pengamatan

Ini dilakukan di tempat kerja sewaktu  pekerja tersebut sedang melakukan pekerjaan yang akan dinilai. Penganalisis mengamati    dan menanyai pekerja-pekerja mengenai guna memperoleh keterangan yang komplit, khusus dan teliti.

e.                     Metode dengan wawancara kelompok

Sejumlah besar pejabat-pejabat yang mewakili jabatan-jabatan yang sama diseleksi. Dengan bantuan dari penganalisis, pejabat-pejabat mencatat data-data  identifikasi  dan mengingat serta menuliskan kegiatan-kegiatan mereka. Pada penutupan pertemuan penganalisis mengkombinasikan data-data dari  pejabat-pejabat tadi  dalam suatu skedule komposisi untuk masing-masing jabatan.

f.                      Metode dengan technical conference

Sejumlah ahli diseleksi berdasarkan luasnya pengetahuan dan pengalamannya, dan bekerja bersama-sama untuk mencatat kegiatan-kegiatan  yang menyangkut jabatan yang dianalisis.                                      

g.                     Metode dengan catatan harian

Pekerja diminta untuk mencatat tugas-tugasnya dari hari ke hari. Keharusan mengingat-ingat dikurangi dan frekuensi pelaksanaan tugas untuk suatu periode pengumpulan data-data dibatasi.     

h.                     Metode dengan ikut bersama-bersama kerja

Penganalisis jabatan tersebut ikut bekerja. Mungkin ia melakukan tugas-tugas sedehana dan sedikit atau tanpa instruksi. Dalam hal kegiatan-kegiatan yang bersifat lebih teknis ia harus mempelajari lebih dahulu pekerjaan tersebut dan kemudian mengerjakannya bersama dengan pegawai-pegawai yang sudah biasa.  

i.                       Teknik critical incident

Ini menyangkut pengumpulan pernyataan-pernyataan yang didasarkan atas pengamatan langsung atau catatan-catatan perbuatan (tingkah laku) yang memperlihatkan performace yang baik sekali maupun yang tidak memuaskan.   

B.     PEMBAHASAN HASIL OBSERVASI & WAWANCARA PADA PERUSAHAAN

1.      Sejarah Singkat Bank Pembangunan Daerah Sumatera Barat (Bank Nagari)

Bank Pembangungan Daerah Sumatera Barat secara resmi berdiri pada tanggal 12 Maret 1962 dengan nama “PT. BANK PEMBANGUNAN DAERAH SUMATERA BARAT” yang disahkan melalui akta notaris Hasan Qalbi di Padang. Pendirian tersebut dipelopori oleh Pemerintah Daerah beserta tokoh masyarakat dan tokoh pengusaha swasta di Sumatera Barat atas dasar pemikiran perlunya suatu lembaga keuangan yang berbentuk Bank, yang secara khusus membantu pemerintah dalam melaksanakan pembangunan di daerah. Disahkan melalui Surat Keputusan Wakil Menteri Pertama Bidang Keuangan Republik Indonesia No. BUM/9-44/II tentang izin usaha PT. Bank Pembangunan Daerah Sumatera Barat, dan dimulailah operasional PT. Bank Pembangunan Daerah Sumatera Barat dengan kedudukan di Padang.

Berdasarkan Undang-Undang No.13 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Bank Pembangunan Daerah, maka dasar hukum Bank Pembangunan Daerah Sumatera Barat diganti dengan Peraturan Daerah Tingkat I Propinsi Sumatera Barat No. 4. Sehingga PT. Bank Pembangunan Daerah Sumatera Barat dirubah menjadi “BANK PEMBANGUNAN DAERAH SUMATERA BARAT”. Dalam perjalanan-nya tahun 1996 melalui Perda No. 2 / 1996 disahkan penyebutan nama (Call Name) sebagai ”Bank Nagari” dengan maksud untuk lebih dikenal, membangun brand image sekaligus mengimpresikan tatanan sistem pemerintahan di Sumatera Barat.

Sesuai dengan perkembangan dan untuk lebih leluasa dalam menjalankan bisnis, tanggal 16 Agustus 2006 berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Sumatera barat No. 3 Tahun 2006, bentuk badan hukum Bank Pembangunan Daerah Sumatera Barat berubah dari Perusahaan Daerah menjadi Perseroan Terbatas, yang didirikan berdasarkan akta Pendirian Perseroan Nomor 1 Tanggal 1 Februari 2007 dihadapan Notaris H. Hendri Final, S.H. dan disahkan oleh Menteri Hukum dan Hak Azazi Manusia Republik Indonesia dengan Keputusan Nomor W3-00074 HT.01.01-TH.2007 tanggal 4 April 2007 Saat ini Bank Nagari telah berstatus sebagai Bank Devisa serta telah memiliki Unit Usaha Syariah. Bank Nagari juga merupakan Bank Pembangunan Daerah pertama yang membuka Kantor Cabang di Luar Daerah.

Puncak perubahan (Moment of Change) Bank Nagari, ditandai dengan launching logo baru beserta visi dan misi baru Bank Pembangunan Daerah pada tanggal 27 November 2008 dan dihadiri oleh Gubernur Sumatera Barat yaitu Bapak Gamawan Fauzi. Menjadi Bank Pembangunan Daerah yang terkemuka dalam arti dikenal dan menonjol di Indonesia. Terpercaya memberi arti bahwa bank sudah menjalankan prinsip-prinsip pengelolaan perusahaan yang baik, memberikan layanan yang memuaskan dan kepatuhan terhadap peraturan dengan kejujuran. Hal tersebut dituangkanlah kedalam Visi bank Nagari yaitu:

“Menjadi Bank Pembangunan Daerah Terkemuka dan Terpercaya di Indonesia”

Sedangkan Misi Bank Nagari adalah:

  1. Memberikan kontribusi dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Mencerminkan dasar atau latar belakang didirikannya bank, sesuai yang diamanahkan dalam Akta Pendirian, yang merupakan cita-cita dan tujuan yang akan diperankan, yaitu turut membangun kegiatan ekonomi yang kuat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

  2. Memenuhi dan menjaga kepentingan stakeholder secara konsisten dan seimbang. Bank akan senantiasa dijalankan dengan prinsip untuk memenuhi tanggung jawab kepada pemilik, nasabah, karyawan dan masyarakat.
    -Menjaga agar bank ini bertumbuh dan berkembang dengan baik dan sehat

-Memberikan pelayanan yang prima

-Memberikan keuntungan yang memadai bagi pemegang saham
- Memberikan manfaat maksimal bagi masyarakat

Dari Visi dan Misi tersebut lahirlah Statement sebagai berikut:

“Bersama Membina Citra Membangun Negeri”


Ruang lingkup kegiatan operasional yang dapat dilakukan oleh Bank Pembangunan Daerah Sumatera Barat yakni sebagai berikut:

1.      Memberikan berbagai fasilitas perkreditan kepada dunia usaha dan pihak lain yang membutuhkannya.

2.      Melakukan penyertaan modal pada perusahaan-perusahaan yang dinilai layak untuk dikembangkan melalui aktifitas penyertaan modal tersebut.

3.      Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk giro, tabungan dan deposito.

4.      Melakukan pemberian jasa perbankan lainnya seperti kiriman uang, inkasso, bank garansi, kliring, safe deposit box dan lain sebagainya.

5.      Melakukan kegiatan pengolahan keuangan Pemerintah Daerah.

6.      Melakukan pengembangan sarana perbankan melalui pembukaan Kantor Cabang dan pembinaan Lumbung Pitih Nagari (LPN).



Deskripsi Jabatan

Nama perusahaan        : Bank Pembangunan Daerah Sumatera Barat (Bank Nagari)

1.      Nama Jabatan    : Costumer service

2.      Rangkuman singkat tentang pekerjaan

Costumer service  adalah  pegawai bank yang melayani nasabah dalam membuka tabungan, deposito, giro, permohonan  minta  ATM, surat dukungan bank yang berguna untuk para kontraktor sebagai persyaratan mengikuti tender di pemerintahan, pembukaan pendaftaran haji, legalisir buku tabungan, melayanai nasabah yang menanyakan informasi mengenai produk bank baik langsung maupun melalui telepon.  

3.      Kegiatan kerja

Costumer service adalah front liner, yang pasti kalau nasabah masuk bank yang ditemui pertama kalinya adalah costumer service lalu menemui teller. Kegiatan kerja costumer service seperti yang diuraikan dalam rangkuman singkat pekerjaan diatas  adalah setiap paginya telah standbye untuk melayani nasabah dalam membuka tabungan, deposito, giro, permohonan minta ATM,   surat dukungan bank yang berguna untuk para kontraktor sebagai persyaratan mengikuti tender di pemerintahan.

Costumer service juga melayani nasabah dalam pembukaan pendaftaran haji, legalisir buku tabungan , nasabah yang menanyakan informasi mengenai produk bank baik langsung maupun melalui telepon.

Setiap costumer service harus memberikan kehangatan bagi nasabahnya, seperti menerima nasabah dengan senyum yang tulus, memandang nasabah  ketika berbicara, melayani nasabah dengan antusias, cekatan, dan ramah. Memeriksa kebenaran pengisian data/formulir/warkat/ slip dan identitas nasabah agar tidak terjadi kesalahan.

4.      Mesin, alat dan perlengkapan

Mesin dan alat yang dibutuhkan oleh seorang costumer service dalam menjalankan pekerjaannya dengan optimal adalah komputer, kalkulator struk yang digunakan untuk mengetahui tingkat bunga deposito, misalnya nasabah buka deposito lalu menanyakan depositonya setelah  misalnya satu bulan, tiga bulan, atau setahun berapa dia dapat bunganya nanti customer servise dapat mengetahuinya dengan menggunakan kalkulator struck tersebut , kemudian printer yang dibutuhkan untuk mencetak semua buku tabungan nasabah dan data-data  nasabah yang sudah diisi.

Perlengkapan kerja seorang customer servise adalah seragam, sepatu highill bagi wanita dan tentunya penampilan yang rapi dan menarik karena akan melayani nasabah.

5.      Lingkungan fisik

Lingkungan kerjanya di dalam ruangan (indoor). Sarana dan prasarana yang digunakan adalah ruangan kerja, meja kerja, kursi, telepon dan perlengkapan kerja yang telah diuraikan diatas.

6.      Lingkungan sosial

Selain dari lingkungan fisik tentunya customer servise tidak bisa lepas dari lingkungan sosialnya. Lingkungan sosial dari customer servise adalah Nasabah dari seluruh kalangan, karyawan sekantor, pimpinan bank serta manager bank.

7.      Konteks kerja (pandangan terhadap pekerjaan)

Costumer service adalah front liner, yang pasti kalau nasabah masuk bank yang ditemui pertama kalinya adalah costumer service lalu menemui teller. Pekerjaan sebagai Costumer service dapat dikatakan minim resiko jika dibandingkan dengan teller namun costumer service harus memiliki kesabaran untuk menghadapi berbagai macam nasabah dan berbagai macam masalah yang mereka hadapi yang berhubungan dengan bank harus diselesaikan dengan baik.

8.      Standard tampilan kerja

                 Costumer service harus stand by sebelum jam kas dimulai, yaitu pada pukul 07.45, jadi sebelum pukul 07.45 Costumer service sudah harus ada di kantor dan harus mempersiapkan segala keperluan dan peralatan kerjanya. Dalam melayani nasabah seorang Costumer service harus bisa bersikap sedemikian rupa agar nasabah bisa merasa puas dan nyaman. Oleh karena itu bank nagari cabang solok memilki sebuah jurus untuk menyambut nasabahnya yaitu dengan jurus 3S (senyum, sapa, salam), sesuai dengan motto bank nagari yaitu CITRA, dimana

C: cepat

I: integritas

T: teliti

R: ramah

A: antusias

Hal yang  juga harus diperhatikan oleh costumer service adalah style kerja yaitu harus bagus, fisik harus proposional, penampilan menarik supaya nasabah itu tidak merasa bosan atau supaya mereka tertarik.

Costumer service di bank nagari harus bekerja sesuai dengan standar yang diharapakan, hal-hal lain yang harus dilaksanakan oleh Costumer service adalah :

a.       Tidak bekerja sambil berbicara dengan rekan kerja lain

b.      Tetap berhati-hati dalam bekerja dan melayani nasabah

c.       Bekerja dengan penuh konsentrasi

Untuk standard penampilan dalam bekerja, Costumer service harus mengikuti prosedur yang telah diwajibkan oleh pihak management bank nagari, diantaranya

a.       Untuk pria

1.)    Rambut tidak menutupi wajah/mata

2.)    Telinga terlihat

3.)    Panjang rambut tidak melebihi krah baju

4.)    Bersihkan wajah

5.)    Rawat wajah agar bersih, tidak berminyak

6.)    Rapikan kumis dan jambang

7.)    Cukur jenggot

8.)    Bersihkan telinga

b.      Untuk wanita

1.)    Tata rambut disesuaikan dengan bentuk wajah bagi yang tidak berjilbab

2.)    Hindari cat rambut warna mencolok

3.)    Pemakaian aksesoris rambut sebaiknya bermodel sederhana dan berwarna hitam

4.)    Bersihkan wajah dan beri pelembab

5.)    Pakai alas bedak

6.)    Pakai bedak tabur/padat

7.)    Gunakan tata rias mata (warna netral) dan pensil alis

8.)    Pakai lipstick

c.       Pria dan wanita

1.)    Rawat tangan dan kaki agar tampak bersih

2.)    Balurkan lotion pada tangan dan kaki agar selalu segar

3.)    Stoking/kaos kaki ditukar setiap hari

4.)    Sepatu dijemur minimal seminggu sekali

5.)    Tidak memakai pewarna kuku

6.)    Kuku jari tangan dan kaki tidak boleh panjang

9.      Persyaratan pribadi, atau kualifikasi personel atau spesifikasi jabatan

Costumer service:

a.       Tinggi minimal 155 cm untuk perempuan dan 160 cm untuk laki-laki

b.      Bagi perempuan yang tidak berjilbab kalau rambutnya panjang harus dicepol agar rapi, kalau yang rambutnya pendek boleh dilepas dan yang berjilbab harus memakai jilbab berdasarkan standar ketentuan kerja berdasarkan ketentuan bank nagari sendiri

c.       Pendidikan minimal D3

d.      Untuk melamar sebagai Costumer service, akan dilakukan wawancara, tes performance, tes psikologi, wawancara dengan psikolog, wawancara dengan direksi, tes kesehatan. Semua itu diperiksa secara teliti.

BAB III

          PENUTUP

A.    Kesimpulan

             Dari wawancara dan observasi yang telah saya lakukan di Bank Nagari Cabang Solok, dapat saya simpulkan bahwasannya Bank Nagari telah melakukan analisis jabatan terhadap calon karyawan yang akan bekerja di perusahaannya, agar karyawan yang akan ditempatkan dapat bekerja sesuai dengan kemampuan dan kualifikasi pendidikan yang dimiliki. Selain itu, agar karyawan lebih mampu mengenal dan menyesuaikan diri dengan jabatannya, perusahaan memberikan training terhadap karyawan yang baru diterima.

B.     Saran

        Penulis berharap laporan ini bisa bermanfaat bagi pembaca dan bagi mahasiswa semoga laporan ini dapat memperluas wawasan mengenai analisis dan deskripsi jabatan pada sebuah perusahaan.

Kamis, Juli 05, 2012

PENGEMBANGAN HUBUNGAN SOSIAL REMAJA


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Setiap individu (manusia) akan selalu membutuhkan individu (manusia) lain dalam menjalani kehidupannya karena  hakikatnya manusia adalah makhluk sosial yang tidak akan mampu bertahan tanpa adanya bantuan dari orang lain. Dia memiliki dorongan untuk mengadakan hubungan dengan orang lain, manusia mempunyai dorongan sosial.  Seperti yang dikemukakan oleh Murray (dalam Bimo, 2002: 57) bahwa manusia mempunyai motif atau dorongan sosial. Demikian juga yang dikemukakan oleh McClelland (dalam Bimo, 2002: 57) bahwa dengan adanya dorongan atau motif sosial pada manusia, maka manusia akan mencari orang lain untuk mengadakan hubungan. Dengan demikian maka terjadilah interaksi antara individu satu dengan individu yang lainnya.
Thibaut dan Kelley berpendapat (dalam http://www.g-excess.com/) bahwa interaksi sebagai peristiwa saling mempengaruhi satu sama lain ketika dua atau lebih orang bersama, mereka menciptakan suatu hasil satu sama lain. Senada dengan pendapat Thibaut dan Kelley,  Chaplin (dalam http://www.g-excess.com/) juga mendefinisikan bahwa interaksi merupakan hubungan sosial antara beberapa individu yang mana individu-individu itu saling mempengaruhi satu sama lain secara serempak.
Dari pendapat ahli diatas dapat disimpulkan bahwa melalui interaksi yang terjadi, individu yang satu dapat mempengaruhi, mengubah serta memperbaiki sikap individu lainnya. Jadi terdapat hubungan yang saling timbal balik di antara keduanya.
Elida Prayitno (2006: 80) menyebutkan bahwa, “remaja yang berkembang baik kepribadiannya, perlu menguasai keterampilan membina hubungan sosial dengan orang lain, baik dengan teman sebaya maupun dengan orang dewasa”.
Hubungan sosial remaja diawali dari rumahnya sendiri yang kemudian berkembang dalam ruang lingkup yang lebih luas, seperti sekolah dan teman sebaya. Akan tetapi, pada kenyataannya tidak semua remaja mampu mencapai hubungan sosial yang baik, seperti: kurangnya rasa saling menghargai antara remaja yang satu dengan yang lain, kurang peduli dengan remaja lainnya, kurang mendengarkan pembicaraan teman yang sedang berbicara, suka membicarakan keburukan teman, dan memilih-milih teman dalam bergaul. Jika hal ini dibiarkan maka akan dapat berpengaruh terhadap perkembangan kepribadian dan prestasi belajar remaja tersebut.
B.       Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis membatasi masalahnya sebagai berikut:
1.         Apa yang dimaksud dengan  hubungan sosial remaja?
2.         Apa  karakteristik hubungan sosial remaja?
3.         Bagaimana pengaruh hubungan sosial terhadap tingkah laku sosial remaja?
4.         Bagaimana kekhasan tingkah laku sosial remaja?
5.         Apa faktor-faktor yang mempengaruhi tingkah laku sosial remaja?
6.         Bagaimana upaya pengembangan hubungan sosial remaja oleh orangtua, guru, dan konselor?
C.      Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini, yaitu:
1.         Menjelaskan pengertian hubungan sosial
2.         Menjelaskan karakteristik dari hubungan sosial
3.         Menjelaskan pengaruh hubungan sosial terhadap tingkah laku
4.         Menjelaskan kekhasan tingkah laku sosial remaja
5.         Menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkah laku sosial remaja
6.         Menjelaskan upaya pengembangan hubungan sosial remaja oleh orang tua, guru dan konselor
Selain itu, tujuan penulis membuat ini adalah  untuk pemenuhan tugas akhir semester mata kuliah Dasar Logika dan Penulisan Ilmiah








BAB II
HUBUNGAN SOSIAL

A.      Pengertian Hubungan Sosial Remaja
Manusia dalam menjalani kehidupan, mengalami tahapan-tahapan penting dalam perkembangannya. Salah satu tahapan penting tersebut adalah periode remaja. Remaja berasal dari kata latin adolensence yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Adolensence mengandung arti yang lebih luas lagi yang mencakup kematangan mental, emosional sosial dan fisik (Hurlock, dalam http://www.blogremaja.pengertian-remaja-definisi-remaja.html). Menurut WHO (dalam Sarlito Wirawan Sarwono, 2007: 9) remaja adalah suatu masa ketika:
1.         Individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan seksual;
2.         Individu mengalami perkembangan psikologis dan pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa;
3.         Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial-ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif lebih mandiri.
Elida Prayitno (2006: 6) memberikan definisi mengenai remaja “Remaja dapat dikatakan sebagai individu yang telah mengalami masa baligh atau telah berfungsinya hormon reproduksi sehingga wanita mengalami menstruasi dan pria mimpi basah”.

Jadi dari kedua pendapat diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa remaja yaitu individu yang telah baligh dari segi fisik ataupun mental (psikologis). Dari segi fisik, yaitu telah berfungsinya alat seksual, sedangkan dari segi psikologis telah mampu berpikir rasional, emosi mandiri, dan memiliki moral otonom.
Dari segi umur, para pakar psikologi sepakat bahwa yang dimaksud dengan remaja adalah seorang individu yang berada pada rentangan umur 13 sampai dengan 21 tahun. Rentangan kehidupan remaja pria umur 15-17 tahun dan berakhir umur 19-22 tahun. Oleh karena itu perlu perbedaan perlakuan terhadap remaja wanita dan pria yang berumur sama (Luella Cole dalam Elida Prayitno, 2006: 7).
Remaja sebenarnya tidak mempunyai tempat yang jelas karena tidak termasuk golongan anak tetapi tidak juga golongan dewasa atau tua. Seperti yang dikemukakan oleh Calon (http://www.aryablog.pengertian remaja menurut para ahli _ belajar psikologi.html) bahwa masa remaja menunjukkan dengan jelas sifat transisi atau peralihan karena remaja belum memperoleh status dewasa dan tidak lagi memiliki status anak.
Sri Rumini dan Siti Sundari (http://www.aryablog.pengertian remaja menurut para ahli belajar psikologi.html) berpendapat bahwa masa remaja adalah peralihan dari masa anak dengan masa dewasa yang mengalami perkembangan semua aspek/ fungsi untuk memasuki masa dewasa. Terkait dengan hal itu, Blair dan Jones; Ramsey; Mead; Dusek; Berzonsky, (dalam Elida Prayitno, 2006: 7) mengemukakan sejumlah ciri khas perkembangan remaja, sebagai berikut:

1.         Mengalami perubahan fisik (pertumbuhan) paling pesat
Dibandingkan dengan periode perkembangan sebelumnya maupun sesudahnya maka pertumbuhan fisik pada periode remaja sangat cepat, sehingga tubuh bertambah tinggi dengan cepat. Otot-otot bertambah kuat dan membesar sehingga tubuh makin besar dan kokoh. Disamping itu bagian tubuh yang selama ini belum aktif, mulai aktif, misalnya fungsi organ seksual.
2.         Mempunyai energi yang berlimpah
Secara fisik dan psikis remaja mempunyai energi yang berlimpah yang mendorong mereka berprestasi dan berkreativitas. Periode remaja merupakan periode paling kuat secara fisik dan paling kreatif secara mental sepanjang periode kehidupan manusia.
3.         Mengarahkan perhatian kepada teman sebaya dan secara berangsur melepaskan diri dari keterikatan dengan keluarga
Hal ini bukan berarti bahwa remaja tidak membutuhkan keluarga, tetapi sebaliknya mereka sangat membutuhkan bantuan atau sokongan keluarga dalam membina hubungan sosial dengan teman sebaya.
4.         Remaja memiliki ketertarikan dan keterikatan yang kuat dengan lawan jenis
Pada periode remaja mulai timbul keinginan untuk akrab dengan lawan jenis, tempat menyatakan isi hati atau berbagai rasa. Remaja membutuhkan bantuan dalam memiliki keterampilan dan kemampuan untuk membina hubungan dengan lawan jenis.
5.         Periode yang idealis
Periode remaja merupakan periode terbentuknya keyakinan tentang kebenaran, agama dan konsep-konsep yang ideal. Remaja menginginkan bahwa nilai-nilai kebenaran, keagamaan dan kebijaksanaan benar-benar terjadi di masyarakat.
6.         Menunjukkan kemandirian
Remaja menunjukkan keinginan untuk mengambil keputusan sendiri tentang diri mereka sendiri. Akan terjadi konflik jika orang tua dan orang dewasa lainnya menuntut remaja patuh terhadap keinginan mereka.
7.         Berada dalam periode transisi
Remaja berada pada periode antara masa anak-anak dengan kehidupan orang dewasa. Oleh karena itu mereka akan mengalami berbagai kesulitan dalam   penyesuaiam diri untuk menempuh kehidupan sebagai calon orang dewasa. Mereka bingung menghadapi diri sendiri dan sikap-sikap yang sering memperlakukan mereka sebagai anak-anak, namun sering pula menuntut mereka bertingkah laku dewasa. Menurut Kurl Lewin (Elida Prayitno, 2006: 9) remaja berada dalam posisi bingung dalam melakukan peran. Pada waktu tertentu mereka dianggap masih terlalu muda untuk melakukan suatu kegiatan, namun pada waktu lain mereka diminta bertingkah laku sebagai orang dewasa.
8.         Pencarian identitas diri
Remaja ingin menjadi seorang yang dianggap benar dalam menjalani kehidupan. Oleh karena itu mereka memerlukan keyakinan hidup yang benar untuk mengarahkan tingkah laku mereka. Keyakinan hidup itu disebut filsafat hidup. Remaja butuh filsafat hidup agar ia dapat berfungsi secara sosial, emosional, moral dan intelektual yang kesemua itu menimbulkan kebahagiaan pada dirinya.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa remaja memang memperlihatkan tingkah laku yang khas sebagai tanda bahwa mereka berkembang sebagai remaja yang normal.
Sejalan dengan pendapat Sri Rumini dan Siti Sundari, Elida Prayitno (2006: 6) mengatakan bahwa “Periode  remaja adalah periode dimana individu meninggalkan masa anak-anaknya dan mulai memasuki masa dewasa”. Oleh karena itu periode remaja dapat dikatakan periode transisi dari masa anak-anak ke masa dewasa. Dalam masa ini individu mengalami banyak tantangan perkembangannya, baik dari dalam diri maupun luar diri terutama lingkungan sosial.
Tantangan dalam diri seperti perubahan fisik yang sangat menonjol yang memerlukan penyesuaian agar tidak timbul kesulitan bagi remaja itu sendiri. Tantangan dari lingkungan, misalnya perlakuan orang tua dan orang dewasa lainnya yang tidak konsisten dalam memperlakukan remaja sebagai anak-anak dan pada saat lain menuntut remaja bertingkah laku sebagai orang dewasa. Jika kondisi seperti ini terus berlanjut maka remaja akan sulit untuk menjalani kehidupan sosialnya karena akan mengalami keragu-raguan dalam berperan, apakah sebagai orang dewasa atau anak-anak.
Remaja yang hakikatnya sebagai manusia  akan selalu berhubungan dengan orang lain dalam kehidupan sehari-hari. Dimana pada hakikatnya manusia memiliki empat dimensi kemanusiaan seperti yang dijelaskan oleh Prayitno dan Erman Amti (2004: 16) sebagai berikut:
1.         Dimensi keindividualan
Memungkinkan seseorang memperkembangkan segenap potensi yang ada pada dirinya secara optimal mengarah kepada aspek-aspek kehidupan yang positif. Bakat, minat, kemampuan dan berbagai kemungkinan lainnya. keberadaan manusia sebagai individual bersifat unik, artinya berbeda antara yang satu dengan yang lainnya (Tim mata kuliah pengantar pendidikan, 2006:10).


2.         Dimensi kesosialan
Perkembangan dimensi ini memungkinkan seseorang mampu berinteraksi, berinteraksi, berkomunikasi bergaul, bekerja sama, dan hidup bersama orang lain. Kaitan antara dimensi keindividualan dan kesosialan memperlihatkan bahwa manusia adalah sekaligus makhluk individual dan makhluk sosial. Manusia tidak akan mengenali dirinya dan dapat mewujudkan potensinya sebelum dia berinteraksi dengan manusia lainnya.
3.         Dimensi kesusilaan
Memberikan warna moral terhadap perkembangan dimensi keindividualan dan dimensi kesosialan. Norma, etika dan berbagai ketentuan yang berlaku mengatur bagaimana kebersamaan antarindividu seharusnya dilaksanakan.  Jadi kesusilaan merupakan ukuran baik dan buruk dalam melakukan sesuatu.
4.         Dimensi keagamaan
Manusia adalah makhluk yang religius yang mengakui bahwa ada suatu zat yang menguasai alam beserta isinya, yang dipuja dan disembahnya yang disebut “Allah” yaitu Tuhan.
Jadi sebagai manusia, remaja hidup dalam keempat dimensi tersebut. Itulah mengapa remaja menuntut kepada orang tua dan orang dewasa lainnya untuk dimandirikan dalam mengambil keputusan yang menyangkut kepentingannya secara pribadi karena dia merupakan makhluk yang individual. Elida Prayitno (2006: 9) mengatakan,“ Jika guru atau orang dewasa lainnya menuntut remaja patuh terhadap semua keinginan mereka, maka akan terjadilah konflik dengan remaja”.
Sebagai makhluk sosial, kita membutuhkan pertolongan orang lain untuk memenuhi kebutuhan kita. Hubungan dengan orang lain di sekitar kita disebut dengan proses sosial. Proses sosial inilah yang menumbuhkan adanya hubungan sosial dalam kehidupan sehari-hari. Tanpa adanya  suatu hubungan sosial maka akan muncul  suatu kegelisahan, ketidaknyamanan, dan rasa tidak bahagia  dalam diri manusia karena bagaimanapun manusia memerlukan orang lain untuk menyampaikan pikiran dan perasaannya.
Hubungan sosial berarti adanya kegiatan sosialisasi seseorang dengan lingkungannya. Brim (dalam Mudjiran, dkk , 2007: 133) merumuskan bahwa sosialisasi adalah proses memperoleh pengetahuan dan keterampilan yang memungkinkan seseorang berpartisipasi aktif dalam kelompok atau masyarakat.
Enung Fatimah (2006: 88) dalam buku Psikologi Perkembangan juga berpendapat  bahwa
Sosialisasi pada dasarnya merupakan proses penyesuaian diri terhadap kehidupan sosial, yaitu bagaimana seharusnya seseorang hidup di dalam kelompoknya, baik dalam kelompok primer (keluarga) maupun kelompok sekunder (masyarakat).

     Kemudian Mudjiran, dkk (2007: 133) mengambil konsep-konsep penting tentang sosialisasi dan dan implikasinya dalam pendidikan bertingkah laku sosial sebagai berikut:
1.         Sosialisasi atau bertingkah laku sosial memerlukan proses belajar. Hal ini dapat dilihat bagaimana cara individu belajar bertingkah laku yang sopan, menyenangkan dan disukai oleh teman-temannya dan orang lain dilingkungannya.
2.         Sosialisasi merupakan proses yang memungkinkan seseorang merubah tingkah laku sesuai dengan keinginan masyarakat.
3.         Sosialisasi merupakan cara penyesuaian antara tingkah laku seseorang yang berada dalam tingkat perkembangan tertentu dengan tingkah laku yang diinginkan masyarakat.
Calhoun dan Acocela (dalam Yulia Rahmi, 2005: 9) menyatakan bahwa sejak lahir, melalui hubungan sosial dengan orang lain seseorang belajar mengendalikan tubuhnya, berbicara, berfikir, memberikan tanggapan, memperdulikan dan mengambil perilaku yang cocok dengan dirinya. Proses belajar tersebut disebut dengan sosialisasi. Dalam bersosialisasi tersebut maka perlu dibina terlebih dahulu hubungan sosial. Melford E.Spiro dalam Mudjiran, dkk (2007: 133) menjelaskan bahwa kemampuan sosialisasi termasuk didalamnya keterampilan individu, motif, dan sikap yang diperlukan untuk melakukan suatu peran, sosialisasi masyarakat yang berlangsung seumur hidup.
Setiap tingkatan umur membutuhkan suatu hubungan sosial dengan orang lain. Baik itu bayi, anak-anak, remaja, maupun dewasa semua butuh untuk berinteraksi dengan orang lain. Bagi remaja melalui interaksi inilah dia dapat mengembangkan kepribadiannya dengan baik sehingga dapat diterima oleh lingkungan sosialnya. Ana Alisyahbana, dkk dalam artikelnya di (http://www.g-excess.com/id/makalah-dan-pengertian-hubungan-sosial.html) merumuskan bahwa, “Hubungan sosial adalah cara-cara individu bereaksi terhadap orang-orang disekitarnya dan bagaimana pengaruh hubungan itu terhadap dirinya”.
Dalam proses hubungan sosial akan terjadi interaksi sosial antara remaja dengan dirinya sendiri, remaja dengan individu lainnya, dan remaja dengan kelompok sosialnya. Seperti yang dijelaskan oleh Bales (dalam Yulia Rahmi, 2005: 9) bahwa dalam hubungan sosial terjadi:
1.         Interaksi antara individu dengan diri pribadi
2.         Interaksi antara individu dengan individu
3.         Interaksi antara individu dengan kelompok
4.         Interaksi antara kelompok dengan kelompok           
Sehubungan dengan itu, Soekanto (dalam Yulia Rahmi, 2005: 11) mengatakan bahwa suatu interaksi sosial tidak akan mungkin terjadi apabila tidak memenuhi dua syarat yaitu adanya kontak sosial dan komunikasi. Dalam interaksi itu individu yang satu memberikan pengaruh, rangsangan atau stimulus kepada individu lainnya. Sebaliknya, individu yang terpengaruh akan memberikan reaksi, tanggapan atau pandangan kepada individu tersebut. Wujud interaksinya dapat berupa kerlingan mata, saling jabat tangan, saling tegur sapa, bercakap-cakap, menunjukkan solidaritas atau kepedulian, adanya keakraban, penerimaan terhadap individu lain dan saling berkomunikasi.
Berdasarkan pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa dalam hubungan sosial akan terjadi interaksi antara individu dengan diri pribadi, interaksi antara individu dengan individu, interaksi antara individu dengan kelompok, dan interaksi antara kelompok dengan kelompok yang dapat dilihat dari komunikasi yang baik, kepedulian atau solidaritas terhadap individu yang lain, pandangan terhadap interaksi sosial, keakraban dengan semua individu.
Sedangkan menurut Sarlito W. Sarwono (2009: 185) ada beberapa aspek yang mendasari interaksi sosial yaitu:
1.         Komunikasi
Komunikasi adalah proses pengiriman berita dari seseorang kepada orang lain. Dalam kehidupan sehari-hari komunikasi ini dapat berbentuk percakapan antara dua orang, berita yang dibacakan oleh penyiar televisi atau radio, buku cerita, koran, surat, telepon, faksimile, internet, e-mail, sms, dan sebagainya.
Didalam proses komunikasi terdapat lima unsur sebagai berikut:
a.         Adanya pengirim berita (komunikator)
b.         Penerima berita (komunikan)
c.         Adanya berita yang dikirimkan
d.         Ada media atau alat pengiriman berita
e.         Ada sistem simbol yang digunakan untuk menyatakan berita
Jika terjadi kesalahpahaman dalam komunikasi maka akan dapat menganggu jalannya interaksi sosial. Oleh karena itu penting adanya pengertian bersama dari simbol-simbol yang digunakan dalam berkomunikasi.
2.         Sikap
Sikap adalah istilah yang mencerminkan rasa senang, tidak senang, atau perasaan biasa-biasa saja (netral) dari seseorang terhadap sesuatu.  “Sesuatu”  itu bisa benda, kejadian, situasi, orang-orang atau kelompok. Jika yang timbul terhadap sesuatu itu adalah senang, maka disebut sikap positif, sedangkan jika perasaan tidak senang, maka disebut sikap negatif. Kalau tidak timbul perasaan apa-apa berarti sikapnya netral.  Orang-orang yang mempunyai sikap yang sama terhadap hal-hal yang sama lebih mudah untuk berinteraksi daripada orang-orang yang sikapnya berbeda-beda.
3.         Tingkah laku kelompok
Dua orang atau lebih berkumpul disuatu tempat tertentu, maka akan menampilkan perilaku yang sama sekali berbeda daripada ciri-ciri tingkah laku individu-individu itu masing-masing. Perbedaan ini disebabkan oleh adanya “jiwa kelompok” yang tidak tunduk kepada sifat individu masing-masing, tetapi diatur oleh hukum-hukum kesatuan mental dari kelompok itu. Individu yang bertingkah laku tidak sesuai dengan tingkah laku kelompok akan lebih sulit untuk berinteraksi sosial.
4.         Norma sosial
Norma sosial adalah nilai-nilai yang berlaku dalam suatu kelompok yang membatasi tingkah laku individu dalam kelompok itu. Didalam norma sosial ada terkandung sanksi sosial artinya barang siapa melakukan sesuatu yang melanggar norma, akan dikenai tindakan tertentu oleh masyarakatnya. Jika interaksi yang terjadi antara individu yang satu dengan yang lainnya melanggar norma maka interaksi tersebut tidak akan berjalan lancar. 
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa didalam interaksi sosial ada kemungkinan individu dapat menyesuaikan diri dengan yang lainnya atau sebaliknya. Begitu juga dengan interaksi yang terjadi diantara remaja, interaksi sosial remaja dengan remaja lainnya tidak selalu berjalan dengan baik. Hal ini disebabkan mungkin  diantara remaja ada yang  tidak mampu bersosialisasi dengan baik. Seperti  komunikasi yang kurang baik, tutur dan bertata krama yang kurang sopan. Jika hal ini dibiarkan tentu akan mengganggu hubungan sosial remaja.
Proses sosialisasi dan interaksi sosial dimulai sejak manusia lahir dan berlangsung terus hingga ia dewasa atau tua. Menurut Piaget (dalam Enung Fatimah, 2006: 88)  interaksi sosial anak pada tahun pertama sangat terbatas, terutama hanya dengan ibu dan ayahnya. Perilaku sosial anak ini terpusat pada rasa egonya. Ia belum memerhatikan keadaan lingkungannya. Waktu hidupnya hanya digunakan untuk makan dan tidur. Baru pada tahun kedua, anak sudah belajar terhadap lingkungan. Ia mulai mereaksi lingkungannya secara aktif. Ia telah belajar membedakan dirinya dengan orang lain. Perilaku emosionalnya telah berkembang dan berperan. Perkenalan dan pergaulan dengan manusia lain semakin luas. Selain mengenal kedua orang tuanya, ia juga mengenal anggota keluarga dan teman sebayanya. Pada waktu anak mulai belajar di sekolah, ia mulai belajar mengembangkan interaksi sosial dengan belajar menerima pandangan, nilai dan norma sosial. Menginjak masa remaja, ia mampu berinteraksi sosial dengan teman sebaya, terutama lawan jenisnya. Pada akhirnya, pergaulan sesama manusia menjadi suatu kebutuhan dalam kehidupannya.
Seperti yang dikemukakan oleh Elida Prayitno (2006: 31-35) bahwa remaja membutuhkan beberapa kebutuhan psikologis pada periodenya yaitu :
1.         Kebutuhan untuk mendapatkan status
Remaja membutuhkan perasaan bahwa dirinya berguna, penting, dibutuhkan orang lain atau memiliki kebanggaan terhadap dirinya sendiri. Remaja butuh kebanggaan untuk dikenal dan dan diterima sebagai individu yang berarti dalam kelompok teman sebayanya.


2.         Kebutuhan kemandirian
Remaja ingin lepas dari pembatasan atau aturan orang tua dan mencoba mengarahkan atau mendisiplinkan diri sendiri. Remaja ingin mengatur kehidupan sosial, keuangan, dan pribadinya sendiri.
3.         Kebutuhan berprestasi
Remaja akan merasa berprestasi jika guru dapat memberi penghargaan kepada mereka setiap mereka melakukan kegiatan belajar yang baik. Hal ini akan membangkitkan motivasi belajar, bukan saja bagi mereka yang mendapat penghargaan itu, bahkan juga terhadap temannya yang lain.
4.         Kebutuhan diakrabi
Kebutuhan diakrabi remaja bagi remaja mereka menginginkan orang lain memahami ide-ide, kebutuhan-kebutuhan, dan permasalahan yang dihadapinya. Remaja butuh idea tau pemikirannnya, kebutuhan atau masalahnya didengarkan dan ditanggapinya secara akrab ( penuh perhatian ) oleh orang tua, guru dan teman sebayanya.
5.         Kebutuhan untuk memiliki filsafat hidup
Remaja mempunyai keinginan untuk mengenal apa tujuan hidup dan bagaimana kebahagiaan diperoleh. Mereka butuh pengetahuan dan penerapannya dalam kehidupan.
Apabila kebutuhan- kebutuhan yang telah disebutkan diatas dapat terpenuhi maka akan timbul perasaan aman, tidak tertekan dan puas, karena terjadi keserasian di dalam diri remaja sehingga mereka dapat menjalin hubungan sosial yang lancar dan baik dengan orang lain.
B.       Karakteristik Hubungan Sosial Remaja
Kehidupan sosial pada jenjang usia remaja ditandai oleh menonjolnya fungsi intelektual dan emosional. Mereka dapat mengalami sikap hubungan sosial yang tertutup atau terbuka seiring dengan masalah pribadi yang dialaminya. Keadaan ini oleh Erik Erikson (Enung Fatimah, 2006: 90) dinyatakan sebagai krisis identitas diri. Erickson mengemukakan bahwa perkembangan remaja sampai jenjang usia dewasa melalui 8 tahapan. Perkembangan remaja berada pada tahap keenam dan ketujuh, yaitu masa menemukan jati diri dan memilih kawan akrab. Penemuan jati diri seseorang di dorong oleh pengaruh sosiokultural. Berbeda dengan pandangan Sigmund Freud (dalam Enung Fatimah, 2006: 90) bahwa kehidupan sosial remaja (pergaulan dengan sesama remaja terutama dengan lawan jenis) didorong oleh dan berorientasi pada kepentingan seksualnya.
Sementara itu, Mohammad Ali dan M. Asrori (dalam Yulia Rahmi, 2005:13) mengemukakan ada empat karakteristik yang menonjol dari perkembangan sosial remaja, yaitu:
1.         Berkembangnya kesadaran akan kesunyiaan dan dorongan pergaulan. Hal ini sering kali menyebabkan remaja memiliki solidaritas yang tinggi dan kuat dengan kelompok teman sebaya, sehingga remaja perlu diberikan perhatian intensif dengan cara melakukan interaksi dan komunikasi secara terbuka serta hangat.
2.         Adanya upaya memilih nilai-nilai sosial, sehingga menyebabkan remaja selalu mencari nilai-nilai yang dijadikan sebagai pegangan. Dengan demikian orang tua harus menunjukkan konsisten dalam memegang dan menerapkan nilai-nilai dalam kehidupan.
3.         Meningkatnya ketertarikan pada lawan jenis. Hal ini menyebabkan remaja pada usianya berusaha memiliki teman dekat dengan lawan jenis. Untuk itu remaja perlu diajak berkomunikasi secara santai dan terbuka untuk membicarakan hal-hal yang berhubungan dengan lawan jenis.
4.         Mulai tampak kecendrungan untuk memilih karir tertentu, walaupun remaja berada pada taraf pencarian karir. Dengan demikian remaja perlu diberi wawasan karir yang disertai dengan keunggulan dan kelemahan masing-masing jenis karir.
Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa karakteristik perkembangan sosial remaja dapat ditandai dengan adanya keinginan untuk bergaul dengan teman sebaya, mencari nilai-nilai yang dapat dijadikan pegangan dalam kehidupan, timbulnya perasaan tertarik pada lawan jenis dan mulai tampak keinginan untuk memilih karir tertentu.


C.      Pengaruh Hubungan Sosial terhadap Tingkah laku Sosial Remaja
Untuk dapat menjalani hubungan sosial dengan orang lain, remaja dituntut untuk dapat bertingkah laku sesuai dengan sistem sosial yang ada. Setiap masyarakat mempunyai standar bertingkah laku yang pantas untuk dilakukan remaja sebagai warganya. Keberhasilan remaja menjadi anggota suatu masyarakat, ditentukan oleh proses belajar bertingkah laku sesuai nilai dan norma-norma yang telah digariskan masyarakat dimana remaja tersebut berada. Elida Prayitno (2006: 82-84) menjelaskan ada tiga teori perkembangan tingkah laku sosial remaja, yaitu:
1.         Teori Psikoanalisa
Menurut Freud (Mudjiran, dkk, 2007: 134) remaja melakukan peniruan tingkah laku sosial kepada orang tua yang jenis kelaminnya sama dengan dirinya. Anak laki-laki meniru ayah dan anak perempuan meniru ibu. Namun, jika nilai-nilai bertingkah laku sosial terlalu tinggi atau terlalu rendah daripada nilai-nilai yang disetujui masyarakat, maka akan terjadi kegoncangan dalam proses peniruan tingkah laku sosial orang tua. Remaja menjadi menentang tingkah laku sosial orang tuanya atau tetap meniru tingkah laku orang tuanya, namun mengalami kesukaran dalam kehidupan sosialnya dimasyarakat terutama dengan teman sebaya. Seharusnya dengan meniru tingkah laku sosial orang tua, remaja dapat belajar cara-cara bertingkah laku sosial yang sesuai dengan noram-norma sosial yang berlaku.
2.         Teori Social Learning
Menurut Sear (Elida Prayitno, 2006: 83) ada dua cara bagi remaja untuk mempelajari tingkah laku sosial yaitu dengan: (1) memperoleh kepuasan atau menghindari ketegangan; dan (2) meniru, mengimitasi, atau observasi. Remaja akan bertingkah laku sosial tertentu kalau memuaskan perasaannya atau dapat mengatasi ketegangan psikologis yang dialaminya. Oleh karena itu tingkah laku sosial sebaiknya diajarkan dengan memberikan penguatan (pujian) terhadap tingkah laku yang benar dan memberikan arahan untuk menghindari tingkah laku yang tidak benar.
3.         Teori Kognitif
Kolberg (dalam Elida Prayitno, 2006: 83) berpendapat bahwa:
Perkembangan sosial sangat ditentukan oleh perkembangan konsep diri, konsep tentang orang lain, dan pemahaman tentang perbedaan atau persamaan antara standar tingkah laku sosial dengan kepentingan lingkungan sosial bersangkutan.

Kolberg (Elida Prayitno, 2006: 84) menekankan bahwa peranan kognitif penting bagi proses sosialisasi seseorang. Orang yang memiliki kemampuan kognitif tinggi lebih mudah untuk memahami moral, berpikir yang moralis, dan mengikuti perkembangan moral. Oleh karena itu, perkembangan kognitif merupakan kekuatan dan fasilitator bagi perkembangan sosial remaja (Kolberg dan Zigler, dalam Elida Prayitno, 2006: 84).
Menurut Kolberg (Mudjiran, dkk, 2007: 136) pola mempelajari cara-cara bertingkah laku sosial sesuai dengan jenis kelamin sama dengan pola belajar tingkah laku yang sama pada masa kanak-kanak. Pertama-tama remaja mempelajari peranannya sesuai dengan jenis kelaminnya yang diterima oleh masyarakat. Dengan demikian remaja mempunyai gambaran tentang peranan yang harus diperankannya sesuai dengan jenis kelaminnya. Karena perkembangan kognitif yang mereka miliki maka remaja mampu memahami sikap dan nilai-nilai yang harus dijunjung tinggi dalam menjalani perannya sesuai dengan jenis kelaminnya.
Kolberg (dalam Elida Prayitno, 2006: 84) mengemukakan bahwa proses perkembangan tingkah laku remaja menurut jenis kelamin berlangsung sebagai berikut:
a.         Mula-mula remaja menyadari identitas dirinya sesuai dengan jenis    kelaminnya. “Saya adalah remaja pria” atau “Saya adalah remaja putri”.
b.         Kemudian remaja berprilaku yang sesuai dengan peranan menurut jenis kelaminnya, dan dengan tuntutan masyarakat sekitarnya.
c.         Kesempatan untuk bertingkah laku sebagai wanita atau pria akan menimbulkan kepuasan karena dapat diterima oleh masyarakat sekitarnya.


D.      Kekhasan Tingkah Laku Sosial Remaja
Masa remaja adalah saat untuk mencoba melakukan peranan sosial yang baru yang menuntut cara-cara bertingkah laku sosial tertentu. Beberapa kekhasan tingkah laku remaja, yaitu:
1.         Ketertarikan terhadap lawan jenis
Perubahan hubungan sosial yang paling menonjol pada periode remaja adalah ketertarikan terhadap lawan jenis. Elida Prayitno (2006: 85) merumuskan:
Ketertarikan terhadap lawan jenis dapat dilihat dari kesukaan dan kegembiraan remaja dalam kelompok yang heterogen yaitu wanita dan pria, sebelumnya mereka mereka menyukai anggota kelompok yang homogen, yaitu wanita sama wanita dan pria sama pria.
  
Muhammad Al-Mighwar (2006: 130) berpendapat, “Teman-teman sejenis tidak diminati remaja sebagai akibat semakin besarnya minat pada lawan jenis”. Jadi, mereka sering menyukai lawan jenis sebagai teman, walaupun beberapa teman sejenis masih tetap diakrabinya.  Remaja bangga kalau menjadi popular diantara teman sebaya terutama bagi lawan jenis. Remaja populer memiliki banyak teman dan penggemar diantara teman sebaya, terutama lawan jenis. Remaja beranggapan bahwa ketenaran berarti memiliki banyak teman, tetapi dengan bertambah umurnya, jenis-jenis teman lebih penting daripada kuantitasnya.
Beberapa kriteria yang harus dimiliki remaja agar menjadi populer, diantaranya adalah: penampilan fisik yang menarik (pria dengan bentuk tubuh gagah, dan wanita dengan wajah yang menawan dan tubuh yang seimbang), sikap yang tenang, namun periang, dan penuh perhatian (Hurlock dalam Elida Prayitno, 2006: 85).
Dalam memilih teman, para remaja tidak lagi seperti masa kanak-kanak yang memilih teman-teman atas dasar kemudahan dan kegemaran pada aktivitas yang sama, baik di sekolah maupun di lingkungan tetangga. Remaja menghendaki teman yang memiliki minat dan nilai yang sama, dapat mengerti, membuatnya merasa aman, dipercaya, membahas masalah-masalah yang tidak dapat diceritakan pada guru atau orang tuanya (Muhammad Al-Mighwar, 2006: 130).
Pada remaja awal, hubungan dengan lawan jenis mudah berakhir dan dalam waktu yang relatif singkat. Remaja sering jatuh cinta, namun percintaan itu cepat pula berakhir yang sering disebut cinta monyet. Menurut Hurlock (Elida Prayitno, 2006: 85) cinta monyet dapat terjadi karena dua hal:
a.         Kurangnya pengalaman dengan lawan jenis, maka remaja berkemungkinan memilih teman yang kurang sesuai dengan harapannya. Keadaan yang demikian menimbulkan kekecewaan, pertengkaran, dan putusnya hubungan cinta mereka.
b.        Remaja terlalu idealistik dalam menetapkan standar tingkah laku temannya terutama lawan jenis. Oleh karena suka mengeritik dan kurang mampu bersikap toleransi, maka perselisihan sering terjadi yang berakhir dengan putusnya hubungan percintaan. Lambat laun, remaja menjadi realistis dalam menetapkan standar tingkah laku teman-teman lawan jenisnya dan mampu menerima atau mentolerir tingkah laku teman-teman lawan jenisnya itu, walaupun kurang sesuai dengan harapan-harapannya.
Problema lain yang dirasakan remaja awal adalah masalah persahabatan dengan  teman sebaya lain jenis kelamin. Pada usia 13-14 tahun, kelompok remaja wanita mulai tertarik pada remaja laki-laki, tetapi remaja laki-laki masih belum tertarik. Problema ini sering menjadikan remaja wanita sungkan dan ragu-ragu. Hal ini berbeda dengan remaja laki-laki pada usia 14-16 tahun, karena pada usia ini, dia sudah tertarik pada wanita. Masalahnya hanya terletak pada kekurangtahuan perasaan masing-masing. Mengenai hal ini, Luella Cole (dalam Muhammad Al-Mighwar, 2006: 131) mengindikasikan hal berikut:
Usia ± 8 tahun
Anak suka bermain dalam kelompok sejenis kelamin (laki-laki dengan laki-laki, wanita dengan wanita).
Usia ± 10-12 tahun
Saling mengejek antara dua kelompok (kelompok laki-laki melawan kelompok wanita).
Usia 13-14 tahun
Kelompok wanita mulai tertarik untuk bersahabat dengan kelompok laki-laki, tetapi kelompok laki-laki masih belum tertarik.
Usia 14-16 tahun
Kelompok laki-laki mulai tertarik untuk bersahabat dengan kelompok wanita.
Usia 16-17 tahun
Masing-masing remaja, laki-laki dan wanita menjadi senang berpasang-pasangan.

2.         Kemandirian bertingkah laku sosial
Remaja ingin memiliki tingkah laku sosial yang mandiri artinya  memilih dan menentukan sendiri dengan siapa dia akan berteman. Remaja tidak ingin orang tua turut campur dalam menentukan hubungan sosial mereka, khususnya dengan teman sebaya. Karena remaja membutuhkan kemandirian dalam bersosialisasi maka diharapkan mereka dapat mengambil keputusan yang benar tentang tingkah laku untuk menghadapi orang-orang dewasa yang baru dikenal dalam situasi yang baru, dan semua itu memerlukan proses belajar.
Kemampuan bertingkah laku sosial yang sesuai dengan tuntutan nilai kehidupan masa sekarang belum tentu menjamin kemampuan sosial remaja di masa yang akan datang. Oleh karena itu Elida Prayitno (2006: 86) menguraikan dasar bagi remaja dalam bertingkah laku sosial, yaitu:
a.         Konsep diri
Konsep diri remaja mempengaruhi tingkah laku sosialnya karena kesan tentang diri sendiri akan diproyeksikan dalam tingkah lakunya terhadap orang lain. Menurut Mudjiran, dkk (2007: 165) konsep diri besar pengaruhnya terhadap penyesuaian sosial remaja, yaitu: (1) remaja yang memiliki konsep diri tinggi akan menampakkan hubungan sosial yang lebih baik daripada remaja yang memiliki konsep diri rendah; (2) remaja yang memiliki konsep diri rendah lebih mudah terserang kritikan atau penolakan daripada remaja yang memiliki konsep diri tinggi; (3) remaja dengan konsep diri tinggi mudah dan sukses dalam melibatkan diri dalam berbagai aktifitas sosial; dan (4) remaja dengan konsep diri tinggi merupakan remaja populer dan dalam kegiatan kelompok mereka sangat berhasil, karena berani berpendapat, ide-ide yang cepat muncul dan tidak takut dikritik oleh orang lain.
b.        Memahami moral-moral yang berlaku dalam lingkungan sosial
Remaja harus diperkenalkan dan diberi model, serta latihan bertingkah laku yang normal. Hal ini bertujuan agar remaja dapat menyesuaikan diri dengan orang dewasa di luar keluarga dan sekolah.

c.         Kontrol emosi yang mandiri
Remaja harus dilatih untuk mengontrol emosi denagn cara membiasakan kesabaran, pemaaf, dan berpikir positif terhadap orang lain, dalam arti berpandangan bahwa setiap orang itu pada dasarnya baik, tetapi kalau terjadi tingkah lakunya yang menyakitkan berarti orang lain itu sedang bermasalah dan perlu dibantu.
d.           Kemampuan memecahkan masalah hubungan sosial
Remaja harus dibekali dengan keterampilan-keterampilan dalam menghadapi konflik dengan teman sebaya maupun dengan orang dewasa.
3.         Kesenangan berkelompok
Remaja sangat senang hidup berkelompok, hidup dalam kelompok teman sebaya merupakan kebutuhan pada masa remaja. Hurlock (dalam Elida Prayitno, 2006: 87) mengemukakan bahwa terjadi perubahan bentuk kelompok sesuai dengan peningkatan perkembangan mereka, yaitu:
a.         Kelompok teman dekat
Kelompok ini mucul pada masa remaja awal atau pubertas. Kelompok terdiri dari dua atau tiga orang teman dekat dengan jenis kelamin yang sama. Dalam kelompok terjadi saling membantu pemecahan masalah, berbagi rasa namun tidak jarang terjadi pertengkaran dan dengan mudah mereka akan rukun kembali.
b.        Kelompok kecil
Anggota kelompok terdiri dari teman dekat yang jumlahnya lebih besar dari kelompok sebelumya dan jenis kelamin yang berbeda wanita dan pria. Fungsi kelompok adalah tempat berbagi rasa saling menyokong dan belajar bergaul dengan lawan jenis. Sokongan kelompok sangat penting dalam rangka mencapai kemandirian dari keterikatan terhadap orang tua.
c.         Kelompok besar
Kelompok besar jumlah anggotanya lebih banyak karena terdiri dari kelompok teman dekat, dan angggota kelompok kecil. Kelompok ini terbentuk sejalan dengan peningkata aktivitas remaja, seperti kegiatan rekreasi, kesenian, olahraga, pesta ulang tahun dan syukuran karena kesuksesan.
d.        Kelompok terorganisasi
Kelompok ini merupakan kelompok pemuda yang diorganisir oleh orang dewasa yang bertujuan membina remaja. Kegiatannya diarahkan kepada hal-hal yang bermanfaat bagi perkembangan remaja sendiri maupun masyarakat, misalnya organisasi pemuda untuk meningkatkan keterampilan anggotanya sehingga memiliki kesiapan kerja. Kegiatan kelompok remaja juga dapat diarahkan kepada kegiatan yang menyejahterakan masyarakat, seperti gotong-royong pengadaan air bersih, wc umum, pembuatan jembatan sederhana dan sebagainya.
e.         Kelompok geng
Kelompok remaja yang terkenal karena kesamaan latar belakang (misalnya ditolak atau tidak puas dalam kelompok remaja), menggabungkan diri membentuk kelompok yang disebut geng. Kegiatan geng cenderung merusak dan mengganggu kehidupan masyarakat, bahkan mencuri, merampok, dan membunuh.
Muhammad Al-Mighwar (2006: 123) berpendapat bahwa:
Pengaruh teman-teman sebaya terhadap sikap, pembicaraan, minat, penampilan, dan tingkah laku lebih besar daripada pengaruh keluarga. Sebab remaja lebih banyak berada di luar rumah bersama teman-teman sebaya sebagai kelompok.

Tentang pengaruh kelompok sebaya terhadap masa remaja, Harrocks Benimof (Muhammad Al-Mighwar, 2006: 123) menegaskan bahwa kelompok sebaya merupakan dunia nyata anak muda, yang menyiapkan panggung tempat dia menguji diri sendiri dan orang lain. Dalam kelompok sebaya dia merumuskan dan memperbaiki konsep dirinya, karena dia dinilai oleh orang yang sejajar dengan dirinya dan yang tidak dapat memaksakan sanksi-sanksi dunia dewasa yang justru ingin dihindarinya.
Kelompok sebaya memberikan dunia tempat remaja muda bisa melakukan sosialisasi dalam suasana dimana nilai-nilai yang berlaku bukanlah nilai-nilia yang ditentukan oleh orang dewasa, tetapi oleh teman-teman seusianya. Dengan demikian dalam masyarakat sebaya, remaja memperoleh dukungna untuk memperjuangkan emansipasi dan menemukan dunia yang memungkinkannya bertindak sebagai pemimpin bila mampu melakukannya.
Jadi dapat disimpulkan bahwa fungsi teman sangat penting bagi remaja terutama sebagai tempat berbagi rasa penderitaan maupun kebahagiaan serta belajar cara-cara menghadapi berbagai masalah.
Kepribadian yang Diterima dan Ditolak Kelompok
Hurlock (dalam Elida Prayitno, 2006: 88) mengemukakan sifat-sifat kepribadian remaja yang diterima dan ditolak oleh kelompok, yaitu sebagai berikut:
No.
Sifat kepribadian yang diterima
Sifat kepribadian yang ditolak
1.
Penampilan yang menyenangkan karena menarik secara fisik, tenang namun gembira
Penampilan yang kurang menyenangkan karena bentuk fisik yang kurang menarik, dan menyendiri pada kesan pertama.
2.
Bersikap sportif, tidak membenarkan diri sendiri.
Tidak sportif, ingin membenarkan diri, tidak mengakui kelebihan orang lain.
3.
Menyesuaikan penampilan fisik dengan penampilan teman-teman dalam kelompok.
Penampilan fisik tidak sesuai dengan standar kelompok.
4.
Mampu dan mau bekerjasama, bertanggung jawab, banyak ide terutama dalam memecahkan masalah, kebijaksanaan dan sopan.
Suka menonjolkan diri sendiri, tidak dapat bekerjasama, memerintah dan mengatur sesuka hati, dan kurang bijaksana.
5.
Memiliki pengendalian emosi yang matang, dan mengikuti aturan-aturan kelompok.
Control emosi yang rendah, atau mudah terpancing emosi buruk dan suka melanggar aturan kelompok.
6.
Jujur, setia kawan, dan tidak mementingkan diri sendiri.
Tidak jujur, suka berkhianat, mementingkan diri sendiri.
7.
Memiliki status sosial dan ekonomi yang relatif sama, sedikit diatas atau sedikit dibawah rata-rata kelompok.
Status ekonomi terlalu jauh di bawah atau di atas rata-rata kelompok.
8.
Tempat tinggal berdekatan dengan kebanyakan anggota kelompok sehingga memudahkan mereka mengikuti berbagai kegiatan kelompok.
Tempat tinggal yang jauh dari kebanyakan kelompok sehingga sulit untuk berpartisipasi dalam kegiatan kelompok.


E.            Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkah Laku Sosial Remaja
Hurlock (dalam Yulia Rahmi, 2005: 15) mengemukakan bahwa berdasarkan pengalaman, kebanyakan individu memperoleh nilai yang berbeda dan lebih matang dari sebelumnya dalam bertingkah laku sosial. Selanjutnya Mudjiran, dkk (2007: 142) mengemukakan ada tiga faktor yang mempengaruhi tingkah laku sosial individu selain dirinya sendiri, yaitu orang tua, sekolah, dan teman sebaya. Senada dengan itu Moh. Ali dan Moh. Asrori (dalam Yulia Rahmi, 2005: 15) mengungkapkan bahwa hubungan sosial ini mula-mula dimulai dari lingkungan rumah sendiri,  kemudian berkembang ke lingkungan sekolah dan dilanjutkan kepada lingkungan yang lebih luas, yaitu teman sebaya.
1.        Faktor Keluarga
Freud dalam Mudjiran (2007: 143) menekankan pentingnya disiplin orang tua terhadap anak dalam mengembangkan tingkah laku sosial. Orang tua cenderung hanya memberikan hukuman. Sehubungan dengan hal itu Gerungan (dalam Yulia Rahmi, 2005: 15) mengemukakan bahwa salah satu faktor utama yang mempengaruhi perkembangan dan tingkah laku sosial anak adalah faktor keutuhan keluarga, sikap dan kebiasaan orang tua, dan status anak dalam keluarga.
Dari pendapat di atas jelaslah bahwa keluarga berperan penting dalam perkembangan sosial individu baik di sekolah maupun maupun di masyarakat. Sehingga jika hubungan antara anak dan orang tua terjalin baik maka individu akan bisa lebih mudah untuk berinteraksi dan bersosialisasi dengan lingkungannya. Oleh karena itu keluarga sangat berperan  penting terhadap perkembangan interaksi sosial individu. Seperti yang dikemukakan oleh Moh. Ali dan Moh. Asrori (dalam Yulia Rahmi, 2005: 16) bahwa ada sejumlah faktor dari dalam keluarga yang sangat dibutuhkan oleh anak dalam proses sosialnya yaitu, kebutuhan rasa aman, dihargai, disayangi, diterima dan kebebasan untuk menyatakan diri. Jadi dapat disimpulkan jika seorang individu mendapatkan hal itu semua di dalam keluarga maka individu dapat dengan mudah bisa membina hubungan sosial dengan baik terhadap siapa pun.
Jersild dan Brook (http//www.sayyammaskurblog.com.makalah-hubungan-sosial-remaja.html) mengatakan bahwa “interaksi antara remaja dengan orang tua dapat digambarkan sebagai drama tiga tindakan (three-act-drama)”. Drama tindakan pertama (the first act drama) menyatakan bahwa interaksi antar remaja dengan orang tua berlangsung sesuai dengan interaksi yang berlangsung antara masa anak-anak dengan orang tua. Mereka masih bergantung dan dipengaruhi denga orang tua. Tapi, pada masa ini mereka sudah mulai menyadari akan keberadaannya sebagai pribadi yang memiliki kekhasan dari masa-masa sebelumnya.
Drama tindakan kedua (the second act drama) menyatakan bahwa masa ini remaja mulai berjuang untuk membebaskan dirinya dari ketergantungan terhadap orang tua. Sehingga ketika mereka berinteraksi dengan orang tua, mereka mulai meninggalkan kemanjaan dirinya dan belajar untuk lebih bertanggung jawab terhadap diri sendiri. Oleh sebab itu, pada masa ini remaja sering mengalami konflik atau selisih pergolakan ketika berinteraksi dengan orang tua. Jersild dan Brook menyebut masa ini dengan “perjuangan untuk emansipasi”.
Pada drama  tindakan ketiga (the third act drama), pada masa ini remaja berinteraksi secara lancar dengan orang-orang dewasa. Meskipun kadang mereka masih sering menemui hambatan yang datang dari orang tua karena sikap orang tua yang belum bisa melepas anak remajanya secara penuh. Sehingga, mereka seringkali menentang gagasan-gagasan dan sikap orang tvuanya. Ada dua aspek dalam konteks interaksi antara remaja dengan orang tuanya yaitu aspek objektif dan subjektif (Fontana, dalam (http//www.sayyammaskurblog.com.makalah-hubungan-sosial-remaja.html).
Aspek objektif adalah keadaan nyata dari peristiwa yang terjadi ketika interaksi antara remaja dengan orang tua berlangsung. Sedangkan aspek subjektif adalah keadaan nyata yang dipersepsi oleh remaja pada saat interaksi berlangsung.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa orang tua memilliki pengaruh yang sangat besar dalam pengembangan hubungan sosial remaja. Karena dengan orang tua lah remaja pertama kali berinteraksi.
2.        Pengaruh sekolah
Remaja banyak menghabiskan waktunya di sekolah semenjak berumur empat tahun. Dengan demikian sekolah mempengaruhi tingkah laku remaja khususnya tingkah laku sosialnya. Moh. Ali dan Moh. Asrori (dalam Yulia Rahmi, 2005: 16) berpendapat bahwa:
Hubungan sosial ini mula-mula dimulai dari lingkungan rumah sendiri kemudian berkembang luas lagi ke lingkungan sekolah, dan dilanjutkan pada lingkungan yang lebih luas yaitu tempat berkumpulnya teman sebaya.

Kehadiran di sekolah merupakan perluasan lingkungan sosialnya dalam proses sosialisasinya dan sekaligus merupakan faktor lingkungan baru yang sangat menantang atau bahkan mencemaskan dirinya. Para guru dan teman-teman sekelas membentuk suatu sistem yang kemudian menjadi semacam lingkungan norma bagi dirinya. Selama tidak ada pertentangan, selama itu pula anak tidak akan mengalami kesulitan dalam meyesuaikan dirinya. Namun, jika salah satu kelompok lebih kuat dari lainnya, anak akan menyesuaikan dirinya dengan kelompok  dimana dirinya dapat diterima dengan baik.
Moh. Ali dan Moh. Asrori (dalam Yulia Rahmi, 2005: 17) mengemukakan  ada empat tahap proses penyesuaian diri yang harus dilalui oleh anak selama membangun hubungan sosialnya, yaitu sebagai berikut:
a.         Anak dituntut agar tidak merugikan orang lain serta menghargai dan menghormati hak orang lain.
b.         Anak dididik untuk menaati peraturan-peraturan dan meyesuaikan diri denagn norma-norma kelompok.
c.         Anak dituntut untuk lebih dewasa di dalam melakukan interaksi sosial berdasarkan asas saling member dan menerima.
d.         Anak dituntut untuk memahami orang lain.
Keempat tahap proses penyesuaian diri berlangsung dari proses yang sederhana ke proses yang semakin kompleks dan semakin menuntut penguasaan sistem respons yang kompleks pula. Selama proses penyesuaian diri, sangat mungkin anak menghadapi konflik yang dapat berakibat pada terhambatnya perkembangan sosial mereka. Jadi dapat disimpulkan jika remaja dapat melaksanakan keempat tahap tersebut maka remaja dapat dengan baik membina hubungan dengan teman-temannya terutama teman sekelas.
3.        Pengaruh teman sebaya
Remaja akan berusaha agar bisa diterima dengan baik oleh teman-temannya. Oleh karena itu jika remaja bisa diterima dengan baik oleh teman-temannya maka suatu kebanggaan tersendiri bagi remaja tersebut. Karena dengan diterimanya remaja dalam kehidupan teman sebayanya maka bisa membantu remaja dalam mengembangkan potensi dirinya dan bisa saling membantu antar sesama. Seperti yang dikemukakan oleh Campbel (dalam Elida Prayitno, 2006: 94), yaitu:
Kelompok teman sebaya memungkinkan remaja belajar keterampilan sosial, mengembangkan minat yang sama dan saling membantu dalam mengatasi kesulitan dalam rangka pencapaian kemandirian. Teman sebaya dijadikan tempat memperoleh sokongan dan tempat melepaskan ketergantungan diri tehadap orang tua. Begitu pentingnya teman sebaya bagi perkembangan sosial remaja, maka apabila terjadi penolakan dari kelompok teman sebaya dapat menghambat kemandirian dalam hubungan sosial. Penolakan sosial dapat menghancurkan kehidupan remaja yang sedang mencari identitas diri.

Jadi dengan adanya pengaruh teman sebaya tersebut maka remaja merasa bisa dihargai apabila mereka dapat diterima dengan baik oleh teman-temannya. Apabila remaja dapat diterima dengan baik maka remaja akan lebih mudah untuk membina hubungan sosial dengan lingkungannya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa faktor yang mempengaruhi hubungan sosial remaja adalah lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan masyarakat.  
4.        Kematangan
Menurut Endang Fatimah (2006: 92), “Proses sosialisasi memerlukan kematangan fisik dan psikis”. Untuk memberi dan menerima pandangan atau pendapat orang lain diperlukan kematangan intelektual dan emosional. Selain itu, kematangan mental dan kemampuan berbahasa ikut pula menentukan keberhasilan seseorang dalam berhubungan sosial.
5.         Status sosial ekonomi
Kehidupan sosial dipengaruhi pula oleh kondisi atau status sosial ekonomi keluarga. Anak akan menjaga status sosial dan ekonomi keluarganya. Hal itu mengakibatkan anak akan menempatkan dirinya dalam pergaulan sosial yang tidak tepat. Kondisi yang demikian juga dapat berakibat lebih jauh, yaitu anak menjadi terisolasi dari kelompoknya. Akibat lain, anak-anak dari keluarga kaya akan membentuk kelompok elit dengan nilai dan norma sendiri.
6.        Kapasitas mental: emosi dan intelegensi
Kapasitas emosi dan kemampuan berpikir mempengaruhi banyak hal, seperti kemampuan belajar, memecahkan masalah, berbahasa, dan menyesuaikan diri terhadap kehidupan di masyarakat. Perkembangan emosi dan intelegensi berpengaruh terhadap perkembangan sosial anak. Remaja yang memiliki emosi positif akan lebih mudah untuk menjalin hubungan dengan teman sebayanya baik yang sejenis ataupun beda jenis. Ini dikarenakan remaja yang memiliki emosi positif selalu gembira, bahagia, sayang,cinta dan berani (Elida Prayitno, 2006: 68). Sikap saling pengertian dan kemampuan memahami orang lain merupakan modal utama dalam kehidupan sosial dan hal ini akan mudah dicapai oleh remaja yang berkemampuan intelektual tinggi.














BAB III
UPAYA PENGEMBANGAN HUBUNGAN SOSIAL

A.      Upaya Orang Tua dalam Pengembangan Hubungan Sosial Remaja
Keluarga merupakan tempat pertama dan utama bagi remaja dalam mendapatkan pendidikan. Kepuasan psikis yang diperoleh remaja dalam keluarga akan sangat menentukan bagaimana ia akan bereaksi terhadap lingkungan. Remaja yang dibesarkan dalam keluarga yang tidak harmonis atau broken home sehingga tidak mendapatkan kepuasaan psikis yang cukup akan sulit mengembangkan keterampilan sosialnya. Seperti yang diuraikan oleh Enung Fatimah dalam buku Psikologi Perkembangan (2006: 96) bahwa remaja yang berasal dari keluarga yang tidak harmonis akan sulit mengembangkan keterampilan sosialnya, yang terlihat dari:
1.         Kurang adanya saling pengertian (low mutual understanding)
2.         Kurang mampu menyesuaikan diri dengan tuntutan orang tua dan saudara
3.         Kurang mampu berkomunikasi secara sehat
4.         Kurang mampu mandiri
5.         Kurang mampu memberi dan menerima sesama saudara
6.         Kurang mampu bekerjasama
7.         Kurang mampu mengadakan hubungan yang baik
Dengan memerhatikan hal-hal tersebut, orang tua hendaknya menyadari betapa pentingnya keharmonisan keluarga dalam perkembangan hubungan sosial remaja. Orang tua harus mampu menciptakan suasana yang menyenangkan dan nyaman bagi remaja. Keharmonisan tidaklah selalu identik dengan adanya orang tua yang utuh, sebab dalam banyak kasus orang tua single terbukti dapat berfungsi efektif dalam membantu perkembangan psikososial anak. Hal yang paling penting diperhatikan oleh orang tua adalah menciptakan suasana yang demokratis di dalam keluarga sehingga remaja dapat menjalin komunikasi yang baik dengan orang tua maupun saudara-saudaranya. 
Sejalan dengan itu Hoffman (dalam Muhammad Al-Mighwar, 2006: 212) mengajukan tiga pola untuk menumbuh kembangkan potensi interaksi sosial remaja, yaitu:
a.         Induction (pola asuh bina kasih)
Yaitu pola asuh yang dilakukan orang tua atau orang dewasa lainnya dalam mendidik anak dan remaja melalui pemberian penjelasan yang rasional terhadap segala sikap dan keputusan yang akan diterapkan kepadanya.
b.         Power assertion (pola asuh unjuk kuasa)
Yaitu pola asuh yang dilakukan orang tua atau orang dewasa lainnya dalam mendidik anak dan remaja melalui pemaksaan kehendak, sekalipun  anak kurang bisa menerimanya.
c.         Love withdrawal (pola asuh lepas kasih)
Yaitu pola asuh yang dilakukan orang tua atau orang dewasa lainnya dalam mendidik anak dan remaja melalui penarikan atau pengurangan kasih sayangnya bila anak tersebut tidak mematuhi kehendaknya, kemudian memberikannya kembali ketika anak sudah mematuhinya.
Dengan menerapkan ketiga pola itu secara tetap, namun disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang berkembang, diharapkan remaja belajar bagaimana seharusnya bersikap yang benar dalam menghadapi orang lain, apa yang membuat orang lain senang dan tidak senang, dan apa konsekuensi yang diterimanya bila perilakunya tidak sesuai dengan harapan dan tuntutan orang lain. Dari proses belajar itu, lambat laun interaksi sosial remaja akan semakin baik.
Elida Prayitno menjelaskan (2006: 90) andaikan konflik antara remaja dengan orang tua berlangsung terus-menerus akibatnya kemandirian sosial yang sempurna tidak akan tercapai karena:
1.         Orang tua (lingkungan sosial) yang membatasi kesempatan bagi remaja untuk mengambil keputusan sendiri. Tindakan orang tua seperti ini tidak memberi kesempatan bagi remajanya untuk mandiri.
2.         Orang tua yang tidak dapat dijadikan model memperoleh kemandirian sosial, karena memiliki sifat ketergantungan. Orang tua yang kurang mandiri tersebut cenderung tidak memberi kesempatan mandiri bagi anak-anaknya dalam bertingka laku sosial.
 Pertentangan antara orang tua dengan remaja biasanya tidak akan berlangsung lama dan akhirnya berubah menjadi hubungan yang harmonis (Stanton, dalam Elida Prayitno, 2006: 90). Jika terjadi hubungan yang harmonis kembali dengan orang tua maka remaja dapat memperkenalkan nilai-nilai baru kepada orang tuanya, sehingga orang tua dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman.
Elida Prayitno (2006: 91) menguraikan beberapa tipe pemeliharaan yang dilakukan orang tua dan bentuk tingkah laku sosial yang akan dimilki remaja, yaitu:
1.         Tipe pemeliharaan menunjukkan cinta yang tulus dan sepenuh hati terhadap anak dan remajanya, maka anak dan remajanya akan memperlihatkan hubungan sosial yang baik dan menilai orang lain secara positif, karena anak remaja itu memiliki penilaian yng positif terhadap dirinya sendiri.
2.         Tipe pemeliharan yang hangat dalam memberikan batasan-batasan dan disiplin terhadap anak remajanya, maka dalam bersosialisasi anak atau remaja akan menampakkan tingkah laku yang sopan santun, mudah bekerjasama, kurang agresif, mandiri dan memiliki sifat bersaing yang sehat denga teman sebaya.
3.         Tipe pemeliharaan yang hangat tetapi terlalu bebas atau belum sesuai dengan tingkat perkembangan mereka, maka anak dan remaja cenderung bertingkah laku sosial yang tegas. Anak dan remaja cenderung agresif dan kurang mampu bekerjasama.
4.         Tipe pemeliharaan yang menolak dan memusuhi, mengakibatkan remaja bertingkah laku sosial yang buruk sehingga cenderung menampilkan hubungan sosial yang kurang baik dengan teman sebaya maupun dengan orang dewasa, mengalami psikosomatis, dan bertingkah laku nakal (delinguent). Disamping itu mereka menjadi anak yang berprestasi rendah dibandingkan kemampuan kognitif yang mereka miliki.
5.         Tipe pemeliharaan yang terlalu membatasi tingkah laku anak dan remajanya, menimbulkan tingkah laku sosial yang salah karena anak memiliki perasaan yang tidak puas tentang dirinya. Anak yang dibesarkan dengan pemeliharaan seperti ini mempunyai dorongan ingin tahu rendah, kurang kreatif dan kurang fleksibel dalam menghadapi masalah intelektual atau masalah akademis maupun sosial.
B.       Upaya Guru dan Konselor dalam Pengembangan Hubungan Sosial
Sekolah merupakan lembaga pendidikan resmi yang bertanggungjawab untuk memberikan pendidikan kepada siapa pun yang berhak. Oleh karena itu remaja banyak menghabiskan waktunya di sekolah. Dengan demikian sekolah mempengaruhi tingkah laku remaja khususnya tingkah laku sosialnya. Sekolah sebagai lembaga formal yang diserahi tugas untuk menyelenggarakan pendidikan tentunya tidak kecil peranannya dalam membantu pengembangan hubungan sosial remaja. Dalam hal ini, guru juga harus mampu mengembangkan proses pendidikan yang bersifat demokratis. Jika guru tetap berpendirian bahwa dirinya sebagai tokoh intelektual dan tokoh otoritas yang memegang kekuasaan penuh maka perkembangan hubungan sosial remaja akan terganggu.
Sebab remaja bukan anak-anak lagi yang senantiasa memiliki sikap mengagumi gurunya sebagai tokoh yang harus dipatuhi melebihi siapa pun. Untuk itu guru harus mampu mengembangkan perannya selain sebagai guru juga sebagai pemimpin yang demokratis. Tugas guru tidak hanya semata-mata mengajar, melainkan juga mendidik. Artinya selain menyampaikan pelajaran juga harus membina peserta didik menjadi dewasa yang bertanggung jawab. Dengan demikian, perkembangan hubungan sosial remaja akan dapat berkembang secara maksimal.
Karena pada masa remaja peran kelompok dan teman sebaya sangat besar maka guru BK atau konselor dapat menjalankan berbagai layanan seperti layanan bimbingan kelompok serta membentuk kelompok-kelompok belajar siswa dengan menggabungkan siswa laki-laki dan perempuan. Sehingga dalam kelompok tersebut remaja dapat berlatih dan membiasakan diri berhubungan sosial dengan teman sebaya yang sesama jenis dan beda jenis.
Di sekolah, guru seharusnya memiliki banyak perencanaan kegiatan kelompok untuk mengembangkan tingkah laku sosial remaja, seperti kerjasama, saling membantu, saling menghormati dan menghargai, misalnya kelompok pengembangan khusus, seperti kelompok menyanyi, menari, olahraga, dan keterampilan lainnya (Elida Prayitno, 2006: 93).



















BAB IV
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dari pembahasan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa perkembangan sosial merupakan salah satu tugas perkembangan yang harus di kuasai pada periode remaja. Jika tugas perkembangan ini tidak terlaksana maka akan dapat mengganggu kehidupan remaja. Faktor lingkungan sosial, seperti orang tua, guru, dan teman sebaya sangat mempengaruhi perkembangan sosial remaja, karena mereka di jadikan model dan pembentuk kebiasaan tingkah laku remaja. Oleh karena itu, upaya-upaya pengembangan hubungan sosial remaja oleh berbagai pihak sangatlah penting.
B.     Saran
Pendidik (dalam hal ini orang tua dan guru) hendaknya dapat menjadi model bagi remaja dalam bertingkah laku sosial. Orang tua harus mampu menciptakan suasana keluarga yang harmonis dan nyaman bagi remaja sehingga mereka dapat mengembangkan hubungan sosial dengan baik. Begitu pula dengan  guru, kegiatan-kegiatan di sekolah sebaiknya di program untuk dapat membantu remaja dalam mengembangkan kemampuannya dalam berhubungan sosial.


KEPUSTAKAAN

Bimo Walgito. 2002. Psikologi Sosial. Yogyakarta: Andi.

Elida Prayitno. 2006. Buku Ajar Psikologi Perkembangan Remaja. Padang: Angkasa Raya.

Enung Fatimah. 2006. Perkembangan Peserta Didik. Bandung: Pustaka Setia.

Hubungan Sosial Remaja. http//www.sayyammaskurblog.com.4makalah-hubungan-sosial-remaja.html. (online) diakses pada tanggal 1 Juni 2011.


Mudjiran, dkk. 2007. Perkembangan Peserta Didik. Padang: UNP Press.

Pengertian Remaja, Definisi Remaja. http://www.blogremaja.pengertian-remaja-definisi-remaja.html. (online) diakses pada tanggal 28 Mei 2011.

Pengertian Remaja Menurut Para Ahli Belajar Psikologi. http://www.aryablog.pengertian remaja menurut para ahli _ belajar psikologi.html. (online) diakses pada tanggal 28 Mei 2011.

Prayitno dan Erman Amti. 2004. Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling. Jakarta: Rineka Cipta.

Sarlito W. Sarwono. 2009. Pengantar Psikologi Umum. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Yulia Rahmi. 2005. Hubungan Sosial Mahasiswa Jurusan Bimbingan dan Konseling UNP. Skripsi. Tidak dipublikasikan. Padang : UNP.